Sumba Barat Daya, 25 November 2025 – Jargon Presisi Kepolisian Republik Indonesia di Sumba Barat Daya (SBD) diduga hanya tinggal omong kosong. Institusi penegak hukum yang dibiayai uang rakyat ini kini tengah diguncang skandal serius yang mencakup dugaan setoran gelap yang mengalir ke atas dan upaya pembungkaman pers yang sangat mencederai demokrasi. Polres SBD kini berada di titik nadir integritas setelah dugaan praktik kotor mencuat ke permukaan, berawal dari kasus pemalakan warga yang menyedot perhatian publik.
Krisis transparansi ini memuncak ketika awak media berupaya menjalankan fungsi kontrol sosialnya. Upaya konfirmasi resmi yang dilakukan jurnalis justru disambut dengan sikap yang mengindikasikan ketakutan untuk terbuka. Konfirmasi langsung kepada pucuk pimpinan, Kapolres SBD, hingga berita ini diturunkan belum mendapatkan tanggapan resmi. Sikap bungkam dari pimpinan ini adalah indikasi kuat pembiaran atau bahkan dugaan persetujuan terhadap praktik busuk yang terjadi.
Ironisnya, pihak yang seharusnya menjadi benteng pengawasan etika, Propam Polres SBD, justru melakukan tindakan yang menghina profesi jurnalistik. Saat awak media berupaya meminta konfirmasi melalui pesan aplikasi WhatsApp, Propam awalnya meminta wartawan atau perwakilannya untuk menemui dirinya secara langsung. Namun, ketika Redaksi menjelaskan bahwa mereka tidak berada di wilayah hukum Polres Sumba dan meminta konfirmasi tertulis, Propam dengan cepat dan sepihak memblokir pesan aplikasi WhatsApp redaksi.
TIDAK TERIMA AKAL SEHAT: Tindakan Propam ini bukan sekadar penolakan, melainkan pembungkaman biadab yang didahului manuver penghindaran tanggung jawab. Tindakan ini menegaskan adanya upaya sistematis untuk menutup-nutupi borok institusi, merobek Kode Etik Jurnalistik, dan menciderai kebebasan pers. Pertanyaan yang muncul sangat tajam: “Mengapa konfirmasi tertulis harus dihindari dengan cara memblokir pers, hanya karena Redaksi tidak bisa hadir secara fisik? Adakah yang lebih busuk dari yang terlihat?”
Kasus pemalakan yang memicu skandal ini berubah menjadi tuduhan korupsi yang lebih serius dengan adanya pengakuan dari terduga pelaku. Dalam perbincangan dengan media, terduga pelaku melontarkan kalimat yang menjadi tuduhan serius yang tidak bisa diabaikan: “Kasian kami ini korban, hasil semua itu langsung disetor ke pimpinan.” Pengakuan yang mengerikan ini secara telanjang menyasar dugaan keterlibatan dan penerimaan manfaat langsung oleh pimpinan Polres SBD. Hal ini memperkuat tudingan bahwa institusi ini diduga telah dijadikan “tempat barteran kasus”—sebuah mekanisme kotor yang memperdagangkan keadilan di SBD.
Kritik pedas diarahkan kepada Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polres SBD. Oknum kepolisian yang terlibat dalam praktik memalukan ini dicap sebagai “Benalu Negara” yang alih-alih melayani, justru merongrong integritas Korps Bhayangkara. Praktik ini disinyalir menjadi akar masalah dari tumpukan kasus yang tak kunjung selesai, menunjukkan bahwa aparat lebih sibuk mencari rente ketimbang menegakkan hukum.
Menanggapi skandal yang merusak citra Polri ini, desakan keras muncul agar Pimpinan Tertinggi Polri segera mengambil tindakan. “Oknum-oknum yang terbukti melakukan pelanggaran disiplin, etika, dan pidana, terutama yang berupaya membungkam pers dan memeras rakyat, harus segera dipecat secara tidak hormat (PTDH). Tidak ada tempat bagi ‘Benalu Negara’ di institusi yang seharusnya menjunjung tinggi Presisi,” tegas salah satu tokoh yang mendesak penegakan hukum. Kasus ini harus diusut tuntas, tidak hanya pada pelaku pemalakan, tetapi juga kepada seluruh rantai komando yang diduga menerima setoran dan berupaya membungkam informasi. Hanya pembersihan total yang dapat mengembalikan secuil kepercayaan masyarakat terhadap Kepolisian Republik Indonesia.
Eksplorasi konten lain dari Cyber Nasional
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.










