PALEMBANG – 18 Desember 2025- Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan (Pemprov Sumsel) dinilai gagal dalam mengelola postur anggaran daerah. Kebijakan pengalokasian Bantuan Keuangan Bersifat Khusus (BKBK) yang tidak realistis telah memicu efek domino yang membahayakan stabilitas ekonomi di 17 kabupaten/kota.
Temuan terbaru mengungkap adanya lubang anggaran sebesar Rp1.163.608.734.979,05 (Rp1,16 Triliun) yang tidak memiliki sumber pendanaan. Utang belanja ini kini menjadi beban berat yang “dilemparkan” ke tahun anggaran berikutnya, mencerminkan pola perencanaan anggaran yang amatir dan tidak bertanggung jawab.
Krisis likuiditas ini bukan terjadi karena faktor eksternal, melainkan akibat kegagalan internal dalam mematuhi prinsip dasar keuangan negara. Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) dituding menyusun APBD berdasarkan angka asumsi semu, bukan pendapatan nyata.
Lebih jauh lagi, Gubernur Sumatera Selatan disorot tajam karena menyetujui alokasi dana BKBK tanpa mempertimbangkan kapasitas fiskal daerah. Langkah ini dianggap sebagai kebijakan yang dipaksakan dan mengabaikan rambu-rambu hukum, termasuk UU No. 17 Tahun 2003 dan PP No. 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
Akibat macetnya penyaluran dana dari provinsi, pemerintah kabupaten/kota kini berada dalam kondisi terjepit:
– Pengurasan Cadangan: Enam kabupaten/kota terpaksa menggunakan saldo kas daerah demi melunasi tagihan pihak ketiga agar proyek tidak mangkrak.
– Penyalahgunaan Kas Terbatas: Sebanyak 13 daerah nekat menggunakan kas yang seharusnya dibatasi penggunaannya untuk membayar kewajiban jangka pendek. Ini adalah tanda bahaya (red flag) dalam kesehatan finansial daerah.
– Ancaman Gagal Bayar: Sebelas kabupaten/kota diprediksi akan mengalami gagal bayar terhadap kewajibannya karena saldo kas yang kian menipis.
Pencatatan kurang bayar sebagai “Utang Belanja” oleh pemerintah daerah membuktikan bahwa Pemprov Sumsel telah gagal memberikan jaminan kepastian dana. Alih-alih menjadi stimulan pembangunan, dana BKBK justru menjadi beban yang menyandera kemandirian fiskal daerah bawahannya.
Meski Gubernur Sumatera Selatan menyatakan “dapat memahami” temuan tersebut, publik menuntut pertanggungjawaban yang lebih nyata daripada sekadar pengakuan. Krisis likuiditas ini menunjukkan perlunya evaluasi total terhadap kompetensi TAPD dan akurasi kebijakan penganggaran di Sumatera Selatan agar tidak terus-menerus mengandalkan skema “gali lubang tutup lubang” yang merugikan rakyat.
Publisher -Red PRIMA
Eksplorasi konten lain dari Cyber Nasional
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.











