
MUARA ENIM, SUMATERA SELATAN –25 Juni 2025– Kebijakan penetapan kawasan hutan oleh Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan di wilayah Tanjung Enim dan Semende menuai kritik tajam dari masyarakat adat dan petani lokal. Warga mempertanyakan dasar hukum serta akurasi historis di balik klaim “hutan produksi” atas lahan yang, menurut mereka, telah dikelola secara turun-temurun sejak tahun 1938 – jauh sebelum kemerdekaan Indonesia dan pembentukan institusi kehutanan modern.
Peta identifikasi enclave Desa Darmo, Kecamatan Lawang Kidul, yang dirilis Dinas Kehutanan pada 2016, secara kontroversial memasukkan area perkebunan rakyat yang produktif ke dalam klaim kawasan hutan. Hal ini menimbulkan kecurigaan kuat akan motif tersembunyi, terutama mengingat melimpahnya kandungan batu bara di lokasi tersebut. Masyarakat menduga, penetapan status hutan produksi ini adalah dalih untuk memuluskan pengambilalihan lahan rakyat demi kepentingan pertambangan skala besar.
“Ini bukan sekadar kekeliruan administrasi, ini adalah perampasan hak sejarah,” tegas seorang tokoh masyarakat Tanjung Enim yang memilih untuk tidak disebutkan namanya demi keamanan. “Bagaimana mungkin Dinas Kehutanan bisa mengklaim hutan produksi di atas tanah yang sudah dipadati perkebunan rakyat sejak 1938? Apakah mereka buta sejarah, atau memang sengaja menutup mata demi korporasi?”
Rencana pengaduan ribuan petani karet Desa Darmo ke Istana Negara menjadi indikasi serius atas ketidakpercayaan masyarakat terhadap mekanisme penyelesaian konflik di tingkat daerah. Mereka menuntut klarifikasi mengenai penerbitan Hak Guna Usaha (HGU) PT. Bukit Asam (PT. BA) di area perkebunan mereka, mengingat PT. BA belum eksis saat nenek moyang mereka mulai menanam durian, sawit, dan karet yang kini masih berproduksi.
Kritik semakin mengemuka terkait skema “dana santunan” yang ditawarkan PT. BA. Masyarakat menilai, ini adalah upaya minimalisir tanggung jawab korporasi dan pemerintah, bukan ganti rugi yang adil. “Jika hanya santunan yang diberikan, ini sama saja dengan memiskinkan ribuan keluarga secara terstruktur,” tambah tokoh masyarakat tersebut. “Pemerintahan yang konon pro-rakyat, justru berpotensi menciptakan gelombang kemiskinan dan penderitaan baru. Apakah ini definisi kesejahteraan yang ditawarkan?”
Ironisnya, di tengah klaim status hutan oleh pemerintah, wilayah Tanjung Enim juga semakin rusak parah akibat maraknya aktivitas penambangan batu bara yang menghasilkan lubang-lubang raksasa, menunjukkan lemahnya pengawasan dan penegakan hukum terhadap aktivitas yang merusak lingkungan dan hak-hak rakyat. Konflik lahan ini menyoroti urgensi evaluasi ulang kebijakan kehutanan yang lebih berpihak pada keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan, bukan hanya pada kepentingan ekonomi dan korporasi semata.
Publisher -Red